MAKALAH PENDIDIKAN BUDAYA ANTI
KORUPSI
REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA
REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang masalah
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan
dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan.
Terlebih lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang
sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis
multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah
sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak
menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya
komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung
berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan
KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia
selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen
pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian
masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang
dinggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan
yang bersifat semu.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi
Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu
sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas,
mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi
hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait
dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian
tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.
B.
Rumusan Masalah
Dengan
memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan
masalah, diantaranya:
1.
Apakah yang dimaksud dengan
reformasi birokrasi?
2.
Bagaimana reformasi
birokrasi di Indonesia?
3.
Bagaimana birokrasi
Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasI?
4.
Bagaimana mekanisme
pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna
mengatasi patologi birokrasi?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga beSrtujuan
untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi
itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Reformasi Birokrasi
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang
baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak
beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan
praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun
terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu
organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada
umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas
wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan
berjuta-juta penduduk.
Reformasi adalah mengubah atau membuat
sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan
pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam
pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan
masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana
disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan
dengan norma-normanya.
Development adalah perkembangan yang
tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan
kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka
perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga
hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat.
Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah
keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam
masyarakat (Susanto: 185-186).
Reformasi ini harus dilakukan oleh
pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala
lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai
motor penggerak utama. Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan
maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya
perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu
cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi adalah suatu usaha
perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah
laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi
birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan
perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal ini
berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan
kekuasaan.
Reformasi birokrasi adalah sebuah
harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu memerangi KKN dan membentuk
pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan
public yang efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui
reformasi birokrasi yang dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan
dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan pihak yang dilayani
pemerintah.
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah
suatu perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan,
sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur,
pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan
diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis. Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan
peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna
menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih
baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari
fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas
ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa
yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang
peran birokrasi dewasa ini.
B.
Tujuan
Reformasi Birokrasi
1. Memperbaiki
kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2. Terciptanya
birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta
memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara
3. Pemerintah
yang bersih (clean government)
4. Bebas
KKN
5. Meningkatkan
kualitas pelayanan terhadap masyarakat
C.
Pokok-pokok
Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari
penataan kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur. Langkah selanjutnya
adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak
berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan
pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju
pelayanan publik yang berkualitas dan prima.
Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan
pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak,
pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau
instansi pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah pusat/daerah, kepolisian,
kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti
departemen pendidikan, departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi
Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Penataan
Kelembagaan atau Orgnisasi
Untuk
menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan,
diantaranya: perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi,
menciptakan organisasi yang efektif dan efesien, rasional, dan
proporsional, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi
yang jelas, mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan
tugas, menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang
cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan.
2. Sumber
Daya Manusia (SDM) Aparatur
SDM
yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera,
manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera,
berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk
melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal
(sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing
instansi pemerintah), penerapan sistem merit dalam manajemen PNS,
klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar
kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat
dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis
kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi
manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen
modern.
3. Tata
Laksana atau Manajemen
Ketatalaksanaan
aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,
prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan
ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme,
tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi,
pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan
pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan apresiasi kearsipan. Juga
penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat,
disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan
peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif
dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada
masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat
waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem
manajemen yang efisien dan efektif.
Unit
organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara,
statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum
(BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.
4. Akuntabilitas
Kinerja Aparatur
Pemahaman
tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar diciptakan Kinerja
Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN, ditandai
oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif,
sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: Berdasarkan peraturan dan tertib
administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai
sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan,
masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung sistem informasi dan
pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di semua
departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan
ketalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan
dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang
bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan
kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja
sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).
5. Pengawasan
Pengawasan
ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan nasional dengan
elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal,
dan pengawasan masyarakat,ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang
tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang
mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor
profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum
secara adil dan konsisten.
6. Pelayanan
Publik
Pelayanan
publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat
didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang
cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit,
informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan
akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya
waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi.
Kondisi
kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung
penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya
praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan
paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan
ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive
government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable
government (pemerintahan tanggap/responsive), serta global-cosmopolit
orientation government (pemerintahan yang berorientasi global.
7. Budaya
Kerja Produktif, Efisien dan Efektif
Pelaksanaan
Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk membangun
kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya
iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi,
melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan
perilaku serta motivasi kerja; menemukenali kembali karakter dan jati diri, membangun
birokrat berjiwa entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi
(terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja pegawai
yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur,
produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat
kepercayaan masyarakat).
8. Koordinasi,
Integrasi, dan Sinkronisasi
Koordinasi,
Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi program dan
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program
pendayagunaan aparatur negara.
9. Best
Practices
Best
practices yaitu mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik,
antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali, Kalimantan
Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo,
Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar, dan
Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan
Pekanbaru).
D.
Tahap-tahap
Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi Birokrasi
1. Tahap-tahap
Reformasi Birokrasi yang Ideal
Agar
reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah
manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis,
menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu,
kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi
perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan
keuntungan.
Ada
tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials
tahun 2005, yaitu sebagai berikut:
a. Memobilisasi
energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita,
tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap
lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa
yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara
bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka
perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan.
b. Mengembangkan
visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar
dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
c. Menentukan
kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang
para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar
dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang
yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di
bawahnya.
d. Fokus
pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang
dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas
tertentu.
e. Mulai
mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu
menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
f. Membuat
peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk
cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
g. Mengawasi
dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses
perubahan berlangsung.
2. Strategi
Reformasi Birokrasi
a. Pada
level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas
waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
b. Pada
level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan
masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan
Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
c. Pada
level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
d. Instansi
Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Strategi
birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa
karakteristik antara lain:
a. Perubahan
yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang
lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi
pimpinan.
b. Keinginan
untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa
pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
c. Tujuan
organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan
dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing,
termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.
d. Staf
pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang
ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
e. Fungsi-fungsi
pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya
dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri
oleh pemerintah.
f. Mengurangi
peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
g. Birokrasi
harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan.
h. Rekruitmen
dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
E.
Reformasi
Birokrasi Di Indonesia
Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya
Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan, yaitu reformasi yang
mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu
memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN ) dan membentuk pemerintahan yang
bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi
pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin
merajalela.
Keinginan masyarakat untuk menikmati
pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari
harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif
maupun eksekutif juga tidak mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam
kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka akhirnya terperangkap dalam
lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.
Pada masa orde reformasi dan orde
sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak diwacanakan dan
diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius dilaksanakan.
Beberapa diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang
restrukturisasi organisasi pemerintah daerah dengan konsep MSKF (Miskin
Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas adalah untuk rasionalisasi
birokrasi di lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma
dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model
menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun
2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol
Unwar,2006).
Agenda reformasi tersebut tampaknya
merupakan jawaban atas semakin meningkatnya tuntutan masyarakat serta banyak
didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia seperti
entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan
sebagainya.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment.
Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi dasarnya yakni service,development,empowerment.
Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good
governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut :
1. Pemerintah
mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public
2. Adanya
perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public
3. Mengakui
dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan
mewujudkan desentralisasi (ibid).
Meskipun
banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut
cukup sulit dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di
Indonesia pada era reformasi belum sepenuhnya siap menghadapi perubahan;
1. Laporan
dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa
birokrasi Indonesia berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks
competitivness yang paling rendah diantara 100 negara yang diteliti (Cullen &
Cushman,2000).
2. Hasil
penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja
birokrasi dalam pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya
pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003).
3. Hasil
kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001, menyatakan
adanya indikasi kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup
(Kompas,22 juni 2001)
Sementara
itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King (1989) mengungkapkan
beberapa sisi buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti :
1. Tidak
efisien, antara lain ditandai dengan adanya :
a. Tumpang
tindih kegiatan antar instansi
b. Struktur,
norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan
c. Budaya
birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”
d. Banyaknya
posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh
orang-orang yang berkompeten. Padahal, birokrasi pada suatu negara
merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat negara dalam melayani
masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan,
atau melaksanakan reformasi birokrasi.
2. Jumlah
pegawai yang berlebihan
3. Tidak
modern atau ketinggalan jaman
4. Seringkali
menyalahgunakan wewenang
5. Tidak
ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas
keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir
tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan,
Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep
dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025, dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014.
Selain
itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi
birokrasi yang ditetapkan dengan Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang
meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme
persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.
Pelaksanaan
reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan
kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi
Birokrasi dan Road Map reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman
pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi memerlukan sistem
monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu
sistem pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti
hasil dari sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1
Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk
operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.
Pedoman
dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB)
tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian
upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran,
indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian atas output dan
outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta
pencapaian Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan
indikator keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.
F.
Birokrasi
Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi di Indonesia menurut Karl D
Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di
Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh
Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota
serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi
Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan
pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat
dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat
yang makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan
timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
1. Maraknya
tindak KKN
2. Tingginya
keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat
tidak maksimal
3. Pelayanan
publik yang diskriminatif
4. Penyalahgunaan
wewenang
5. Pengaburan
antara pejabat karir dan non-karir
G.
Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi
Beberapa perubahan yang perlu dilakukan
pemerintah guna merespon kesan buruk birokrasi. Birokrasi perlu melakukan
beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:
1. Birokrasi
harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal
pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi
perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern,
ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang
perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas
yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
3. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih
berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan
ketepatan waktu.
4. Birokrasi
harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu pembangunan.
5. Birokrasi
harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya
kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis,
inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari
pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu
memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah
satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi.
Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah
mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat,
sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang
diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan
dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga
kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki
loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency). Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah
sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan tenaga kerja birokrasi
professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen pemerintahan yang
tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian
tujuan (goal oriented).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fenomena birokrasi selalu ada bersama
kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara
berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa
birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat
pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan
adanya reformasi birokrasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan
kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik,
kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan
internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme,
kompetensi dan akuntabilitas.
Pada era globalisasi, aparatur negara
harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan
persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki
era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini
merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh
karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan
demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.
Usaha untuk mendorong peningkatan
kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan
tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan
kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah
2. Peningkatan
etika dan moral birokrasi pemerintah
3. Peningkatan
profesionalisme birokrasi pemerintah.
Tujuan
reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good
governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa,
Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat.
B.
Saran
1. Diharapkan
kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada
masyarakat.
2. Untuk
Peningkatan pelayanan, pemerintah harus memberikan pelayanan yang merata
di berbagai aspek
3. Masyarakat
bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan maka
pemerintah haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya
ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah yang menjalankan
pelayanan.
4. Diharapkan
juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan
dan percepatan pemberantasan korupsi.
5. Mengupayakan
penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang
telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi dapat
berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. jakarta: gramedia,
Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.